Setiap kita takkan bisa lepas dari masa lalu. Baik itu manis maupun pahit. Ia akan selalu ada dalam diri kita. Serupa bayangan yang selalu mengikuti kemanapun kita melangkah. Mungkin kita mencoba melupakan masa lalu. Menghapusnya dari ingatan, dari diri kita dan dari siapapun yang berkaitan. Tapi percayalah itu semua akan sia-sia saja. Pada suatu titik ia akan kembali lagi.
Serupa bayangan, ia hadir kapanpun dan dimanapun. Mungkin kita bisa menghilangkan bayangan itu saat kita dalam kegelapan. Dan bayangan itu akan melebur jadi satu dengan kita dan lingkungan. Gelap. Apakah cara itu yang ingin dipakai agar kita menghilangkan bayangan? Mengurung diri dalam kegelapan?
Biarlah bayangan itu hadir. Mungkin itulah mengingatkan kita sebagai makhluk yang nyata. Kita bukanlah seonggok makhluk maya. Biarlah itu tetap ada dan berdamailah...
kirakiragitu
Cuma ingin menulis....begitu saja
Selasa, 24 Juli 2012
Selasa, 17 Juli 2012
Masih dinilai dari muka
Jangan menilai buku dari sampulnya. Itu mungkin kalimat klise yang sering kita dengar. Toh pada kenyataannya tetap saja ada beberapa pihak yang tetap menilai dari luarnya.
Kejadian ini saya alami ketika menunggu pesawat lanjutan. Transit di bandara Soeta. Bandara yang katanya bertaraf internasional di negeri ini.
Sebagai mana biasanya, setelah kembali dari tugas lapangan saya kembali ke kantor. Penerbangan dari Yogyakarta ke Palembang. Transit di Jakarta. Berhubung waktu itu sudah memasuki waktu dhuhur, saya putuskan untuk sholat lebih dahulu. Maksudnya sih sekalian dijamak dengan Ashar karena seringnya penerbangan delay secara sepihak.
Saat memasuki memasuki mushola, entah kenapa petugasnya menanyakan sesuatu yang sangat janggal menurutku. Dia menanyakan ," Mau sholat?," sampai 3 kali dengan muka heran kepadaku.
Awalnya saya diam, setelah pertanyaan ke tiga baru saya iyakan. Tiba-tiba saya sadar kenapa dia menanyakan hal itu. Yup, muka dan tampilan saya jauh dari sebutan orang alim. Saya baru selesai tugas lapangan. Jelaslah penampilan saya itu berantakan. Terus muka? ya saya akui mukaku seperti ini, ga menarik. Terus kenapa? ini bukan salah saya bukan? muka ini anugerah yang di berikan oleh Tuhan dan saya ga berniat menukarnya.
Inilah yang saya sangat jengkel. Emosi saya serasa ingin meledak. Menghajar orang itu. Tapi saya tahan. Saya kembali ke niat awal, sholat. Meskipun hati ini menahan amarah yang sangat.
Saya teringat waktu masih di Kaltim, kejadian hampir mirip. Dan lebih parah saya diusir dari mushola. Terus terang saya masih heran sampai sekarang, apa yang salah dengan penampilan dan muka saya sampai di cap tidak layak beribadah.
Jengkel ...iya, marah...iya. Tapi sekarang yang timbul adalah perasaan kasihan. Saya kasihan kepada orang-orang yang menilai orang lain dari penampilan. Betapa piciknya mereka. Semoga mereka di berikan hidayah........
Senin, 14 Mei 2012
Ingatan
Entah kenapa aku mempunyai ingatan yang sangat pendek. Semua terlewati begitu saja. Hampir tidak ada kenangan . Lurus tanpa hambatan, mengalir begitu saja. Konon menurut cerita dari beberapa orang terdekatku, aku pernah mengalami kecelakaan. Benturan di kepala. Entahlah, aku tidak bisa mengingat apapun peristiwa umur 9 tahun kebawah. Samar-samar.
Ya, begitulah. Mungkin hari ini aku berprinsip masa lalu tetaplah ditempatnya, masa depan yang harus dijalani. Mungkin karena itu, otakku terlalu malas mengingat apa yang terjadi kemarin.
Minggu, 13 Mei 2012
Asa
Hanya memberinya sayap, biarkan dia terbang bebas menyentuh langit
Tak perlu mengekang dalam sangkar , biarkan dia terbang
Suatu saat dia kan kembali
Tak perlu mengekang dalam sangkar , biarkan dia terbang
Suatu saat dia kan kembali
Sabtu, 07 April 2012
Lamaran
“ Kami telah memutuskan menerima lamaran Pak Broto”
Aku terdiam, tak tahu apa yang seharusnya
aku rasakan. Senang? Sedih? Marah? Atau apalagi? Entahlah, semuanya berkecamuk
jadi satu. Perkawinan itu hal besar, keputusan yang seharusnya aku ikut
menentukan. Tapi….
Aku tahu Pak Broto. Beliau memang orang
baik. Teman lama ayah, tapi aku tidak pernah mengenal putranya. Memang buah
jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi tetap ada buah yang busuk diantara buah-buah
segar.
Bukankah seharusnya Ayah dan Ibu menanyakan
dulu apakah aku menyetujuinya? Ah kenapa mereka tega berbuat seperti ini? Ini
masa depanku, ini perkawinan, bukan untuk main-main. Aku bahkan tak tahu siapa
dia. Sungguh, aku merasa takut.
Tak
terasa ada bulir-bulir air mata mengalir melewati pipiku. Kalau kau bertanya
apa aku bahagia atau sedih? Jawabku bukan itu, aku hanya kecewa. Itu saja.
Kecewa atas keputusan yang memaksa. Kecewa karena tidak ada yang bertanya
apakah aku menyetujuinya. Kecewa pada diriku sendiri atas ketidakberdayaanku.
Kecewa atas perintah Tuhan agar anak selalu berbakti pada orang tua.
Ruangan ini terasa menyesakkan. Semua
membisu. Hanya isak tangisku terdengar pelan tertahan. Menggema dalam rongga
dada. Menggetarkan seluruh tubuhku.
*****
Sebenarnya apa sih
yang ayah pikirkan? Tiba-tiba saja mengajukan lamaran untukku. Apa ayah
berpikir aku tak mampu mencarinya sendiri? Terlalu. Sungguh keterlaluan. Apa
sih istimewanya gadis itu sampai-sampai ayah begitu ngotot memilihkan dia
sebagai istriku?
Besok aku akan
kesana. Aku akan batalkan lamaran ayah.
*****
Senja semakin
temaram. Jalan di depan rumah mulai sepi. Tampak dua orang lelaki duduk di kursi
teras rumah.
“ Rokok Nak Ari?”
“ Terima kasih, maaf saya tidak merokok Pak”
“ Bagus kalau begitu. Bapak susah sekali berhenti. Ini gara-gara bergaul
dengan Bapakmu. Waktu SMa dia yang mengajariku merokok. Eh sekarang dia bisa
berhenti, akunya yang keterusan hahaha”
Lelaki muda itu ikut tersenyum kecut. Ternyata ayahnya memberi pengaruh
buruk.
“Sebaiknya Nak Ari bertemu dulu dengan Rina. Saling mengenal, biar nanti
waktu pernikahan tidak terasa seperti orang asing”
Lelaki itupun masuk kedalam rumah. Sejurus kemudian keluar seorang
gadis. Ari dan Rina sejenak saling bertatapan mata. Sesaat kemudian Rina
menundukkan wajahnya.
“ Hai,” sapa Ari
Rani tersenyum tipis. Terasa kaku. Ia tak tahu apa yang dirasakan. Degup
jantungnya terasa kencang. Ia gugup. Inikah calon suaminya? Seorang lelaki
dengan penampilan sederhana, atau malah bisa dikatakan terlalu sederhana. Kaos
warna hitam dipadu dengan celana hitam juga.
Pertemuan yang
kaku. Dua insan yang tak saling kenal, tiba-tiba saja akan diikat dengan sebuah
pernikahaan. Bukan hal yang mudah, menyatukan dua hati. Apalagi mereka tak
pernah bertemu sebelumnya.
“ Bagaimana menurutmu tentang rencana kedua orang tua kita?,” tanya Ari.
Ia memandang langit yang menghitam. Kerlip bintang tak mampu menahan
kegundahannya.
“Entahlah, aku hanya bisa menuruti permintaan orang tuaku. Itu sebagai
tanda baktiku,” jawab Rina.
“Kita bisa menolaknya bukan? Ini hidup kita, dan kitalah nanti yang
menjalaninya. Perkawinan bukanlah hal yang main-main. Apakah kau yakin kita
bisa bahagia? Tidakkah nantinya justru menimbul
kebencian pada mereka yang menjodohkan kita, saat perkawinan kita tidak sesuai
harapan?”
Rani terdiam. Ia menyetujui pernyataan Ari. Tapi ia merasa dalam posisi
yang tak berdaya. Ia hanya bisa pasrah atas keputusan orang tuanya.
Malam berjalan
dengan lambat, seolah sengaja membiarkan mereka terus terkurung dalam
kegundahan. Ari menghela napas panjang. Melepaskan rasa sesak yang menghimpit.
Ia merasa sebagai korban dari sebuah keputusan.
“ Tapi aku tak bisa menolaknya,Mas. Aku pasrah. Aku meyakini bahwa
keputusan orang tuaku adalah yang terbaik. Aku ingin berbakti pada mereka,
hanya itu alasanku. Sekarang keputusan sebenarnya ada ditangan Mas Ari .“
Ari kini terdiam.
Niat awal untuk membatalkan lamaran, kini mulai goyah. Berbakti pada orang tua,
kalimat itu mengusik hatinya. Ia tidak pernah ingat, kapan memikirkan
membahagiakan orang tuanya. Ia selalu memikirkan diri sendiri. Kebahagiaanya.
Egonya. Bahkan tak jarang ia menyakiti orang tuanya.
Ari sejenak
memandang gadis yang duduk disampingnya. Wajahnya begitu teduh. Kepasrahan
gadis ini membuatnya tertegun. Betapa hebatnya gadis ini, mau menukar
kebahagiaan dirinya demi rasa bakti pada orang tua. Ia tidak tega merusak niat
baik gadis ini. Bukan hanya tak tega, kini ia tak sanggup melakukan itu. Entah
mengapa ada rasa bersalah yang luar biasa bila nanti ia membatalkan lamaran
ini.
“ Benarkah ini
caramu untuk berbakti pada orang tuamu? “
Rani tersenyum , ia
mengganggukkan kepala.
“Baiklah kalau
begitu. Ijinkan aku menggenggam tanganmu. Mari kita lalui bersama.”
Rani pun tertunduk.
Ia tersenyum.
Cahayanya bulan berpendam temaram. Ari
menghela napas lega. Ia kini tahu apa yang harus dilakukan. Ia berjanji akan
menjaga hati Rani. Ia akan memberikan kesempatan pada Rani mewujudkan mimpinya.
Ia kini tahu, ini bukan soal pengorbanan. Tapi soal cinta, dan cinta tak
mengenal pengorbanan. Cinta bukanlah hitungan untung rugi. Cinta itu mutlak,
hanya memberi.
Minggu, 11 Maret 2012
Diantara
Apa yang kau dapat saat hadir diantara
mereka ?
Luka. Melukai dan terluka juga.
Terus ? Sudah tahu itu melukai dan terluka kenapa kau
nekad ada diantara mereka ?
Entahlah. Aku juga tidak tahu.
Mungkin, aku hadir ditempat dan waktu yang salah.
Kau sudah tahu itu salah, tapi
kenapa kau teruskan ?
Aku tak tahu. Sungguh. Tiba-tiba
saja terjadi, mengalir begitu saja.
Bah!! Alasan apa itu ? Kau
pasti tahu akhir dari semua perbuatanmu kan ?
Iya aku tahu. Tapi…..entahlah,
aku juga bingung. Aku hanya menawarkan hal yang dia butuhkan. Hanya itu awalnya.
Bukankah kau bisa menjaga jarak dan
tidak terlarut lebih dalam ?
Hai !! Ini masalah hati! Tidak
bisa semuanya di ukur dengan logika. Ia hadir begitu saja, tanpa pernah bisa
dicegah.
Bodoh !! Semuanya bisa di cegah !
Rasa itu bukan masalah hati tapi juga logika. Tuhan memberi kita hati dan
pikiran. Kau tahu gunanya? Keseimbangan! Logika tanpa hati, itu ibarat besi.
Keras dan tanpa kompromi. Sedang hati tanpa logika ibarat air, mengalir
kemana-mana.
Tapi………. Aku tak bisa
mencegahnya. Ia hadir begitu saja. Apakah aku salah mengulurkan tangan saat ia tenggelam
dalam kebimbangan ?
Aku tahu niat awalmu itu baik.
Tapi seharusnya setelah kau mengulurkan tangan, kau biarkan dia menggenggam
tangan yang lebih berhak. Jangan kau terlena dan membiarkanka dia terus
menggenggam tanganmu. Dan itu salah !
Aku tahu itu salah……..tapi aku
juga membutuhkan genggaman tangan.
Kau tahu apa hasil perbuatanmu ?
Ada tiga hati yang terluka. Dia,kau, dan pasangannya. Apa itu yang jadi
keinginanmu?
Tidak ! Aku tidak ingin melukainya.
Sungguh. Aku ingin menjaga hatinya meskipun tahu akulah yang terlukai. Aku
rela.
Terus? Apa untungnya kau terluka
demi menjaga hati orang yang tak bisa dimiliki ?
Ini bukan masalah untung rugi.
Ini bukan dagang. Tak ada kata untung dan rugi saat kau menjaga sebuah hati.
Seharusnya kau bisa berpikir
jernih. Bersihkan pikiran dan hatimu. Tugasmu hanya membantu menjaga hatinya.
Mengguatkannya. Membiarkan dia berdiri kokoh. Setelah itu biarkan ia memilihnya
sendiri. Tapi, kenyataannya yang kau lakukan lebih dari itu. Kau membimbingnya tapi secara
bersamaan kau torehkan belati ke dirinya. Itu yang kau mau ?
Bukan seperti itu yang kumau. Aku
tak ingin melukainya…………..
Biarkan dia berdiri sendiri ! Relakan
! Dan tugasmu selesai sampai disini.
…………………………………………..
Sabtu, 10 Maret 2012
Rindu atau bodoh
Kenapa kau masih bertahan dengan
kerinduan ini?
Entahlah, aku hanya ingin. Itu saja alasanku
Terakhir aku ingat namamu tidak
ada dalam kerinduan mereka, kenapa kau masih memelihara rindu ini? Bukankah itu
sia-sia?
Sia-sia? Tidak! Karena aku
mencoba mempertahankan setiap kenangan
Untuk apa memelihara kenangan?
Kau tidak hidup di masa lalu. Waktu terus bergerak, dia tidak diam.
Karena aku manusia, butuh sesuatu untuk di kenang. Secepat apapun waktu
bergerak, rasa itu tetap ada. Atau setidak-tidaknya pernah ada dan tertulis
dalam buku sejarahku
Lalu apa yang kau lakukan dengan
rasa itu?
Biarkan saja. Biarkan tetap ada sampai aku puas
Dasar bodoh!
Hehehe…Kau bilang aku bodoh? Ini bukan kebodohan, ini hanya caraku
untuk menegaskan keberadaanku. Setidaknya aku pernah mewarnai salah satu sudut
kehidupan, meskipun aku ditinggalkan
Hahaha…kau semakin terlihat
bodoh! Mengenang orang yang meninggalkanmu. Mendepakmu, menendangmu. Itu sakit
tahu? Atau jangan-jangan kau sudah tak waras dan menikmati rasa sakit itu?
Mungkin kau benar. Aku biarkan rasa ini tetap ada, tapi tahukah kau?
Waktu akan menggerus makna rasa ini. Mungkin dulu serupa api yang
menyala,perlahan tapi pasti ia akan meredup. Yang tersisa hanya seonggok arang.
Aku hanya ingin menikmati nyala itu, sekedar menghangatkan hati. Apa itu tidak
boleh?
Terserahlah apa katamu. Luka
kalau kau biarkan akan membesar, menyerang sisi lain yang sehat. Ia akan
membusuk dan akhirnya menghancurkan semuanya. Mati.
Siapa yang bilang luka? Kita bicara rindu, bukan luka
Sama saja kan? Rindu yang tak
bersambut akan meninggalkan luka
Tapi yang aku pelihara adalah sisi rindu, bukan lukanya. Rindu itu
pertanda aku masih sah sebagai manusia. Masih punya hati. Bukan tembok atau
batu
Ah terserahlah. Dasar bodoh !!
Hahaha………
Langganan:
Postingan (Atom)