Sabtu, 07 April 2012

Lamaran


“ Kami telah memutuskan menerima lamaran Pak Broto”
Aku terdiam, tak tahu apa yang seharusnya aku rasakan. Senang? Sedih? Marah? Atau apalagi? Entahlah, semuanya berkecamuk jadi satu. Perkawinan itu hal besar, keputusan yang seharusnya aku ikut menentukan. Tapi….
Aku tahu Pak Broto. Beliau memang orang baik. Teman lama ayah, tapi aku tidak pernah mengenal putranya. Memang buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi tetap ada buah yang busuk diantara buah-buah segar.
Bukankah seharusnya Ayah dan Ibu menanyakan dulu apakah aku menyetujuinya? Ah kenapa mereka tega berbuat seperti ini? Ini masa depanku, ini perkawinan, bukan untuk main-main. Aku bahkan tak tahu siapa dia. Sungguh, aku merasa takut.
                Tak terasa ada bulir-bulir air mata mengalir melewati pipiku. Kalau kau bertanya apa aku bahagia atau sedih? Jawabku bukan itu, aku hanya kecewa. Itu saja. Kecewa atas keputusan yang memaksa. Kecewa karena tidak ada yang bertanya apakah aku menyetujuinya. Kecewa pada diriku sendiri atas ketidakberdayaanku. Kecewa atas perintah Tuhan agar anak selalu berbakti pada orang tua.
Ruangan ini terasa menyesakkan. Semua membisu. Hanya isak tangisku terdengar pelan tertahan. Menggema dalam rongga dada. Menggetarkan seluruh tubuhku.
*****
                Sebenarnya apa sih yang ayah pikirkan? Tiba-tiba saja mengajukan lamaran untukku. Apa ayah berpikir aku tak mampu mencarinya sendiri? Terlalu. Sungguh keterlaluan. Apa sih istimewanya gadis itu sampai-sampai ayah begitu ngotot memilihkan dia sebagai istriku?
                Besok aku akan kesana. Aku akan batalkan lamaran ayah.
*****
                Senja semakin temaram. Jalan di depan rumah mulai sepi. Tampak dua orang lelaki duduk di kursi teras rumah.
“ Rokok Nak Ari?”
“ Terima kasih, maaf saya tidak merokok Pak”
“ Bagus kalau begitu. Bapak susah sekali berhenti. Ini gara-gara bergaul dengan Bapakmu. Waktu SMa dia yang mengajariku merokok. Eh sekarang dia bisa berhenti, akunya yang keterusan hahaha”
Lelaki muda itu ikut tersenyum kecut. Ternyata ayahnya memberi pengaruh buruk.
“Sebaiknya Nak Ari bertemu dulu dengan Rina. Saling mengenal, biar nanti waktu pernikahan tidak terasa seperti orang asing”
Lelaki itupun masuk kedalam rumah. Sejurus kemudian keluar seorang gadis. Ari dan Rina sejenak saling bertatapan mata. Sesaat kemudian Rina menundukkan wajahnya.
“ Hai,” sapa Ari
Rani tersenyum tipis. Terasa kaku. Ia tak tahu apa yang dirasakan. Degup jantungnya terasa kencang. Ia gugup. Inikah calon suaminya? Seorang lelaki dengan penampilan sederhana, atau malah bisa dikatakan terlalu sederhana. Kaos warna hitam dipadu dengan celana hitam juga.
                Pertemuan yang kaku. Dua insan yang tak saling kenal, tiba-tiba saja akan diikat dengan sebuah pernikahaan. Bukan hal yang mudah, menyatukan dua hati. Apalagi mereka tak pernah bertemu sebelumnya.
“ Bagaimana menurutmu tentang rencana kedua orang tua kita?,” tanya Ari. Ia memandang langit yang menghitam. Kerlip bintang tak mampu menahan kegundahannya.
“Entahlah, aku hanya bisa menuruti permintaan orang tuaku. Itu sebagai tanda baktiku,” jawab Rina.
“Kita bisa menolaknya bukan? Ini hidup kita, dan kitalah nanti yang menjalaninya. Perkawinan bukanlah hal yang main-main. Apakah kau yakin kita bisa bahagia? Tidakkah nantinya  justru menimbul kebencian pada mereka yang menjodohkan kita, saat perkawinan kita tidak sesuai harapan?”
Rani terdiam. Ia menyetujui pernyataan Ari. Tapi ia merasa dalam posisi yang tak berdaya. Ia hanya bisa pasrah atas keputusan orang tuanya.
                Malam berjalan dengan lambat, seolah sengaja membiarkan mereka terus terkurung dalam kegundahan. Ari menghela napas panjang. Melepaskan rasa sesak yang menghimpit. Ia merasa sebagai korban dari sebuah keputusan.
“ Tapi aku tak bisa menolaknya,Mas. Aku pasrah. Aku meyakini bahwa keputusan orang tuaku adalah yang terbaik. Aku ingin berbakti pada mereka, hanya itu alasanku. Sekarang keputusan sebenarnya ada ditangan Mas Ari .“
                Ari kini terdiam. Niat awal untuk membatalkan lamaran, kini mulai goyah. Berbakti pada orang tua, kalimat itu mengusik hatinya. Ia tidak pernah ingat, kapan memikirkan membahagiakan orang tuanya. Ia selalu memikirkan diri sendiri. Kebahagiaanya. Egonya. Bahkan tak jarang ia menyakiti orang tuanya.
                Ari sejenak memandang gadis yang duduk disampingnya. Wajahnya begitu teduh. Kepasrahan gadis ini membuatnya tertegun. Betapa hebatnya gadis ini, mau menukar kebahagiaan dirinya demi rasa bakti pada orang tua. Ia tidak tega merusak niat baik gadis ini. Bukan hanya tak tega, kini ia tak sanggup melakukan itu. Entah mengapa ada rasa bersalah yang luar biasa bila nanti ia membatalkan lamaran ini.
                “ Benarkah ini caramu untuk berbakti pada orang tuamu? “
                Rani tersenyum , ia mengganggukkan kepala.
                “Baiklah kalau begitu. Ijinkan aku menggenggam tanganmu. Mari kita lalui bersama.”
                Rani pun tertunduk. Ia tersenyum.
Cahayanya bulan berpendam temaram. Ari menghela napas lega. Ia kini tahu apa yang harus dilakukan. Ia berjanji akan menjaga hati Rani. Ia akan memberikan kesempatan pada Rani mewujudkan mimpinya. Ia kini tahu, ini bukan soal pengorbanan. Tapi soal cinta, dan cinta tak mengenal pengorbanan. Cinta bukanlah hitungan untung rugi. Cinta itu mutlak, hanya memberi.