“ Kami telah memutuskan menerima lamaran Pak Broto”
Aku terdiam, tak tahu apa yang seharusnya
aku rasakan. Senang? Sedih? Marah? Atau apalagi? Entahlah, semuanya berkecamuk
jadi satu. Perkawinan itu hal besar, keputusan yang seharusnya aku ikut
menentukan. Tapi….
Aku tahu Pak Broto. Beliau memang orang
baik. Teman lama ayah, tapi aku tidak pernah mengenal putranya. Memang buah
jatuh tak jauh dari pohonnya. Tapi tetap ada buah yang busuk diantara buah-buah
segar.
Bukankah seharusnya Ayah dan Ibu menanyakan
dulu apakah aku menyetujuinya? Ah kenapa mereka tega berbuat seperti ini? Ini
masa depanku, ini perkawinan, bukan untuk main-main. Aku bahkan tak tahu siapa
dia. Sungguh, aku merasa takut.
Tak
terasa ada bulir-bulir air mata mengalir melewati pipiku. Kalau kau bertanya
apa aku bahagia atau sedih? Jawabku bukan itu, aku hanya kecewa. Itu saja.
Kecewa atas keputusan yang memaksa. Kecewa karena tidak ada yang bertanya
apakah aku menyetujuinya. Kecewa pada diriku sendiri atas ketidakberdayaanku.
Kecewa atas perintah Tuhan agar anak selalu berbakti pada orang tua.
Ruangan ini terasa menyesakkan. Semua
membisu. Hanya isak tangisku terdengar pelan tertahan. Menggema dalam rongga
dada. Menggetarkan seluruh tubuhku.
*****
Sebenarnya apa sih
yang ayah pikirkan? Tiba-tiba saja mengajukan lamaran untukku. Apa ayah
berpikir aku tak mampu mencarinya sendiri? Terlalu. Sungguh keterlaluan. Apa
sih istimewanya gadis itu sampai-sampai ayah begitu ngotot memilihkan dia
sebagai istriku?
Besok aku akan
kesana. Aku akan batalkan lamaran ayah.
*****
Senja semakin
temaram. Jalan di depan rumah mulai sepi. Tampak dua orang lelaki duduk di kursi
teras rumah.
“ Rokok Nak Ari?”
“ Terima kasih, maaf saya tidak merokok Pak”
“ Bagus kalau begitu. Bapak susah sekali berhenti. Ini gara-gara bergaul
dengan Bapakmu. Waktu SMa dia yang mengajariku merokok. Eh sekarang dia bisa
berhenti, akunya yang keterusan hahaha”
Lelaki muda itu ikut tersenyum kecut. Ternyata ayahnya memberi pengaruh
buruk.
“Sebaiknya Nak Ari bertemu dulu dengan Rina. Saling mengenal, biar nanti
waktu pernikahan tidak terasa seperti orang asing”
Lelaki itupun masuk kedalam rumah. Sejurus kemudian keluar seorang
gadis. Ari dan Rina sejenak saling bertatapan mata. Sesaat kemudian Rina
menundukkan wajahnya.
“ Hai,” sapa Ari
Rani tersenyum tipis. Terasa kaku. Ia tak tahu apa yang dirasakan. Degup
jantungnya terasa kencang. Ia gugup. Inikah calon suaminya? Seorang lelaki
dengan penampilan sederhana, atau malah bisa dikatakan terlalu sederhana. Kaos
warna hitam dipadu dengan celana hitam juga.
Pertemuan yang
kaku. Dua insan yang tak saling kenal, tiba-tiba saja akan diikat dengan sebuah
pernikahaan. Bukan hal yang mudah, menyatukan dua hati. Apalagi mereka tak
pernah bertemu sebelumnya.
“ Bagaimana menurutmu tentang rencana kedua orang tua kita?,” tanya Ari.
Ia memandang langit yang menghitam. Kerlip bintang tak mampu menahan
kegundahannya.
“Entahlah, aku hanya bisa menuruti permintaan orang tuaku. Itu sebagai
tanda baktiku,” jawab Rina.
“Kita bisa menolaknya bukan? Ini hidup kita, dan kitalah nanti yang
menjalaninya. Perkawinan bukanlah hal yang main-main. Apakah kau yakin kita
bisa bahagia? Tidakkah nantinya justru menimbul
kebencian pada mereka yang menjodohkan kita, saat perkawinan kita tidak sesuai
harapan?”
Rani terdiam. Ia menyetujui pernyataan Ari. Tapi ia merasa dalam posisi
yang tak berdaya. Ia hanya bisa pasrah atas keputusan orang tuanya.
Malam berjalan
dengan lambat, seolah sengaja membiarkan mereka terus terkurung dalam
kegundahan. Ari menghela napas panjang. Melepaskan rasa sesak yang menghimpit.
Ia merasa sebagai korban dari sebuah keputusan.
“ Tapi aku tak bisa menolaknya,Mas. Aku pasrah. Aku meyakini bahwa
keputusan orang tuaku adalah yang terbaik. Aku ingin berbakti pada mereka,
hanya itu alasanku. Sekarang keputusan sebenarnya ada ditangan Mas Ari .“
Ari kini terdiam.
Niat awal untuk membatalkan lamaran, kini mulai goyah. Berbakti pada orang tua,
kalimat itu mengusik hatinya. Ia tidak pernah ingat, kapan memikirkan
membahagiakan orang tuanya. Ia selalu memikirkan diri sendiri. Kebahagiaanya.
Egonya. Bahkan tak jarang ia menyakiti orang tuanya.
Ari sejenak
memandang gadis yang duduk disampingnya. Wajahnya begitu teduh. Kepasrahan
gadis ini membuatnya tertegun. Betapa hebatnya gadis ini, mau menukar
kebahagiaan dirinya demi rasa bakti pada orang tua. Ia tidak tega merusak niat
baik gadis ini. Bukan hanya tak tega, kini ia tak sanggup melakukan itu. Entah
mengapa ada rasa bersalah yang luar biasa bila nanti ia membatalkan lamaran
ini.
“ Benarkah ini
caramu untuk berbakti pada orang tuamu? “
Rani tersenyum , ia
mengganggukkan kepala.
“Baiklah kalau
begitu. Ijinkan aku menggenggam tanganmu. Mari kita lalui bersama.”
Rani pun tertunduk.
Ia tersenyum.
Cahayanya bulan berpendam temaram. Ari
menghela napas lega. Ia kini tahu apa yang harus dilakukan. Ia berjanji akan
menjaga hati Rani. Ia akan memberikan kesempatan pada Rani mewujudkan mimpinya.
Ia kini tahu, ini bukan soal pengorbanan. Tapi soal cinta, dan cinta tak
mengenal pengorbanan. Cinta bukanlah hitungan untung rugi. Cinta itu mutlak,
hanya memberi.