Sabtu, 29 Oktober 2011

Aku Muak

Sudah 12 batang rokok kuhabiskan. Sudah empat cangkir kopi pahit telah kutandaskan, tapi entah kenapa rasa dibibir ini tak mau hilang. Rasa yang menjijikkan. Sungguh memuakkan.
Aku lelah untuk berpura-pura senang. Aku lelah untuk berpura-pura tertawa. Aku lelah untuk berpura-pura menikmatinya. Ya ...aku lelah akan kepura-puraanku.

Hpku tiba-tiba bergetar. Sebuah sms masuk
“Dani sayang ,Tante udah kangen  nih. Aku jemput di tempat biasa ya. Kali ini Tante bawa teman lho, Tante Lisa dan Tante Rosa.

Baiklah waktunya kerja lagi.

Selasa, 04 Oktober 2011

Sederhana

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Layaknya sinar mentari, meski pun kadang awan menutupinya
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Seperti udara yang kau hirup, meski kadang menyesakkan
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana malam yang menemani tidurmu
Meski tanpa banyak kata
Meski tanpa alunan nada
Aku mencintaimu
Cuma itu

Minggu, 02 Oktober 2011

HENING

Adzan subuh terdengar merdu dari kejauhan. Sudah saatnya pulang. Ningsih segera beranjak dari tempatnya. Ia berjalan dalam dinginnya pagi. Seperti hari-hari biasanya, sebelum pulang ia selalu mampir pasar dekat rumahnya.
Matahari mulai nampak. Dengan tenang Ningsih melangkah pulang. Sebuah tas plastik warna hitam berisi bubur  dan segelas susu hangat tergantung ditangannya. Langkahya menyusuri gang-gang sempit membelah sesaknya perumahan kumuh. Berjuta aroma dan suara menyesaki gang. Satu kehidupan lagi  telah dimulai.
Tepat  di depan rumah munggil dengan sedikit halaman Ningsih berhenti. Warna merah cat temboknya sudah mulai pudar terganti oleh hijaunya lumut. Sebuah kursi plastik yang juga mulai pudar warnanya teronggok didepan pintu.
Dengan hati-hati Ningsih membuka pintu. Didalam rumah terbujur lemah sesosok tubuh diatas dipan bambu. Tubuh yang tergolek tanpa daya.  Setahun sudah ia tak mampu bergerak. Stroke begitulah kata dokter waktu itu. Kini hidupnya hanya tergolek didipan bambu. Perempuan tua yang kini tak berdaya.
Dengan lembut, Ningsih membelai wajah ibunya. Kemudian dengan perlahan ia mengelap tubuh tua dengan kain yang dibasahi air hangat. Membersihkan setiap sudut tubuh ibunya. Kemudian ia ganti baju ibunya. Bubur dan susu hangat yang dibawanya kemudian disajikan kepada ibunya. Ia suapkan sedikit demi sedikit sampai perut ibunya terasa kenyang. Tak sepatah katapun terucap diantara mereka. Tapi apalah arti kata-kata saat senyum dan perbuatan telah mengungkapkan segalanya.
Jam tujuh tepat. Hari mulai hangat. Ningsih mengangkat ibunya keluar. Ia dudukkan dikursi. Hangatnya mentari dan lembutnya angin bisa mencerahkan tubuh renta ini. Sinar mentari akan membisikkan kata-kata kehidupan yang menyegarkan tubuh ini.
Jam sepuluh. Mentari mulai ganas, sinarnya mulai  menyakitkan. Sang bunda telah tertidur dikursi. Dengan hati-hati Ningsih mengangkat ibunya masuk ke dalam dan membaringkannya  didipan bambu. Ia tersenyum melihat wajah tenang ibunya yang tertidur. Ia lakukan semuanya dengan penuh keikhlasan. Ia sadar cuma ini yang ia bisa, dan cuma ini yang ia mampu membalas semua jasa ibunya.
Rasa penat kini menyerang tubuhnya. Iapun tertidur diselembar tikar disamping dipan ibunya. Ia harus istirahat, menyegarkan kembali tubuhnya. Tubuh yang harus siap malam nanti. Tubuh yang digunakan untuk memuaskan hasrat laki-laki yang membayarnya. Entahlah, sudah berapa lelaki yang harus dipuaskannya; ia tidak pernah menghitungnya. Ah..itu sudah tak penting lagi. Nanti malam tubuh ini harus bugar dan wangi, demi orang yang ia sangat sayangi. Demi orang yang membuatnya rela mengorbankan segala.
Rumah mungil bercat merah kusam kini kembali hening. Satu lagi melewati hari dengan keheningan. Entah sampai kapan….